Header Ads

 


"Ahli sebut hibah GMIM bukan korupsi, layak terima bantuan pemerintah"

 

Manado ESC - Hal mengejutkan terus muncul dari persidangan dugaan Tipikor dana hibah GMIM, di pengadilan tipikor Manado, seperti pada Kamis (6/19) wakil ketua KPK periode 2015-2024, Alexander Marwata, guru besar hukum di Universitas Hassanudin Makassar, Prof. Dr. Juajir Sumardi, SH,MH dan mantan analis hukum di Kemenkumham Sulawesi Utara, Aswan Idrak, SH, MH, hadir sebagai saksi ahli. 

"Ketiga saksi ahli memberikan pendapatnya, selaku ahli dalam perkara yang menyeret lima terdakwa, yakni AGK, JK, MK, SK dan HA, dalam sidang yang dipimpin diketuai Achmad Peten Sili, SH, MH, didampingi Iriyanto Tiranda, SH, MH dan Adhoc Kusnanto Wibowo, SH, MH, yang dihadiri para penasihat hukum, dan keluarga serta kenalan para terdakwa," kata Franky Weku, SH, penasihat hukum AGK ketika sidang diskors sementara. 

Dalam sidang tersebut, pada dasarnya dua ahli yakni mantan wakil ketua KPK, Alexander Marwata, memberikan pendapat yang pada intinya, mengatakan, bahwa di dana hibah itu, tidak ada potensi pidana, dan proposal itu hanyalah salah satu syarat pelengkap untuk mendapatkan hibah dari pemerintah daerah. 

Bahkan Alexander Marwata berpendapat itu adalah maladministrasi, karena inspektorat turun melakukan pemeriksaan dan menurut auditor internal tidak ada masalah, apalagi dalam pembangunan, yang dibangun sudah jadi bahkan sudah dimanfaatkan, jadi dimana masalahnya. 

Marwata bahkan menyebutkan sejumlah contoh seperti pemanfaatan dana BOS, jika memang uang termanfaatkan untuk pelayanan publik, maka itu tidak ada masalah, asalkan bisa dipertanggungjawabkan, demikian juga dengan dana hibah, selama tujuan untuk pelayanan umum tersampaikan, maka tidak ada masalah.

bahkan Marwata mengatakan, di KPK dia pernah membebaskan terdakwa, karena menurutnya tidak pantas dikenakan hukuman, sebab itu lebih kepada tanggungjawab administrasi, dia menyebutkan korupsi itu dilihat dari niat jahat pelakunya, jika tidak ada konflik kepentingan dan pelakunya tidak menerima manfaat maka tidak ada korupsi disana, apalagi dalam kasus itu, kelima terdakwa ini tidak mendapatkan manfaat, tidak dapat promosi jabatan atau terima uang sepeserpun maka itu hanya maladministrasi saja. 

Sedangkan Prof. Dr. Jujur Sumardi, SH, MH, dalam pendapatnya, sebagai ahli mengatakan, dalam konteks hibah daerah,  harus dibuat NPHD, sebagai persyaratan dengan dasar harus ada perda APBD, yang juga merupakan tanda persetujuan rakyat lewat DPRD dan menjadi nomenklatur atau skim atau PAGU anggaran khusus hibah. 

Gubernur sebaga pemegang kekuasaan, kata prof Suarji, sebagai pemegang kekuasaan keuangan daerah punya kewenangan otoritatif menetapkan dan memutuskan siap saja yang berhak menerima hibah melalui SK, dan disnilah dibuat NPHD yang mengikat kedua belah pihak, sekaligus menjadi perjanjian yang disepakati bersama sesuai dengan pasal 1338 KUH perdata dan menjadi undang-undang baru bagi pihak yang membuatnya maka harus ditaati.

Kemudian katanya, jika ada pelanggaran atau tidak dimanfaatkan dengan benar berarti wan prestasi, maka harus dikembalikan ke kas daerah, jika pun tak habis dipakai harus juga dikembalikan ke kas daerah, maka jika tak dikembalikan, dan akhirnya kemudian pertanggungjawaban keuangan diperiksa oleh BPK, dan sudah ada hasil audit, maka pemerintah memakai jaksa sebagai pengacara negara menggugat perdata ganti rugi. 

"Proposal juga bebas dirubah, bahkan kalaupun tak ada proposal bahkan jika tak ada proposal, pandangan saya  sebagai ahli bisa saja diberikan hibah, sebab merupakan kewenangan Pemda,  karena mereka punya hak otoritatif menunjuk siapa saja yang bisa diberikan hibah dengan dasar hukum,  Gubernur sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan jika NPHD tidak merinci apa saja kegiatan yang akan dilakukan menggunakan dana hibah, maka penerima bebas memanfaatkanya, namun harus dipertanggungjawabkan, jika tak habis juga kembalikan, dan tak bisa dituntut pidana, karena hubungan dibangun atas perjanjian jika tak sesuai yang diperjanjikan maka harus dikembalikan dananya," Tegasnya. 

Mengenai proposal dia mengatakan itu bukan perjanjian, tidak mempunyai kekuatan mengikat kedua belah pihak,  itu hanya menjadi alat untuk menentukan ada tidaknya hibah dalam kebijakan umum anggaran atau KUA, ketika terima dijustifikasi dalam Perda APBD, dan siapa saja penerima hibah, hak prerogatif gubernur menentukannya. 

Sementara mantan analis madya hukum Kemenkumah, Aswan Idrak, SH, MH yang sudah 20 kali menjadi saksi ahli dalam berbagai sidang sejenis, menjawab pertanyaan ketua majelis Achmad Peten Sili, SH, MH, bahwa yang dibacakan saksi ahli sebelumnya, adalah peraturan yang tercantum Permendagri yang menyebutkan bahwa ormas yang berbadan hukum yang terdaftar pada Kemenag, apakah saat ini lembaga gereja GMIM itu ormas? menurut pendapatnya sebagai ahli, bukan, karena itu adalah lembaga gerejawi, sehingga tidak masuk kategori pasal yang diatur dalam Permendagri, justru kembali pada pasal diatas yaitu lembaga atau badan yang dibentuk berdasarkan UU sebagai salah satu yang memenuhi kriteria sebagai penerima, menurut Permendagri 32/2011 sampai 99/2019 tentang perubahan kelima Permendagri 32/2011 maupun Permendagri 77/2020. 

Idrak menjelaskan, dipisahkan antara lembaga badan dan Ormas, dalam Permendagri 77/2020 tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah didalamnya mencabut permendagri 32/2011, dan yang dimaksudkan yang boleh menerima hibah adalah Ormas, Badan dan Lembaga, dipisah pada poin A, selanjutnya yang disebutkan kesaksian waktu lalu, diberikan kepada Ormas, badan dan lembaga, kalau Permendagri 99/2019 disebutkan pemda dapat berikan hibah pada pemerintah pusat, pemda lainnya, BUMN, BUMD dan badan lembaga dan ormas yang berbadan hukum Indonesia, artinya badan lembaga dan ormas berbeda. 

Dia lalu menjelaskan hibah diberi kepada badan dan lembaga, diberikan kepada badan dan lembaga yang bersifat nirlaba sukarela dan sosial berdasarkan UU, dan menjelaskan pengertiannya sedangkan ormas adalah yang berbadan hukum Indonesia, sehingga hakim mengatakan, apakah dengan aturan itu, GMIM tidak perlu mendaftar bisa langsung dapat? dijawab bukan seperti itu, dia tetap mengikuti aturan, tetapi justru gereja masuk di poin atasnya lembaga.

Namun Ketua majelis minta agar penuntut umum menyebutkan SK penerima yang judulnya adalah daftar nama ormas penerima dana hibah, GMIM masuk di dalamnya, dan dikatakan, jadi jika mengacu pada penjelasan ahli bagaimana, ahli tidak memberikan pendapat, namun menjawab apa yang disampaikan oleh hakim amggota Iriyanto Tiranda, yang mengatakan mengikuti syarat yang disebutkan dan penjelasan ahli itu bukan Ormas, maka tidak layak, ditegaskan ahli bahwa dia mengelompokan GMIM sebagai lembaga bukan Ormas, dan kalau SK itu menyebutkan demikian seolah-olah Ormas namun SK itu bertentangan dengan Permendagri, karena itulah maka gereja disebutkan secara khusus, karena sampai saat ini belum ada aturan khusus yang mengatur tentang lembaga keagamaan, masjid tidak ada, hanya gereja dan pure saja yang ada, maka disebutkanlah gereja secara khusus dalam SK tersebut. 

Dia juga menjelaskan, pengakuan pemerintah terhadap badan hukum GMIM Dirjen Bimas Protestan nomor 91 tahun 1992, kedua yayasan GMIM AZR Wenas, didirikan oleh badan hukum lembaga GMIM, kemudian Menkumham sahkan sebagai yayasan, kenapa karena yayasan bisa didirikan orang perorang dan badan hukum, jika GMIM bukan badan hukum, pasti yayasan tidak akan diterima dan disahkan Menkumham. (Dims)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.